10.11.09

Resensi Harian Republika

Republika: Minggu, 01 November 2009 pukul 01:49:00
http://www.republika.co.id/koran/110/86205/Sang_Kiai_Penanam_Sayur

Ia mengajak para santri dan masyarakat sekitar bercocok tanam.

Subuh di Ciburial. Ratusan santri tampak khusyuk shalat berjamaah. Usai shalat mereka mengaji. Tak seorang santri pun boleh meninggalkan masjid. Satu jam berlalu, para santri keluar masjid dan bergegas masuk kamar untuk berganti pakaian. Sesaat kemudian, para santri itu sudah menghambur ke luar pondokan.

Mereka, sebagian sigap mengolah hasil panen untuk
dipasarkan. Sebagian ke kandang sapi dan domba untuk memberi makan dan sekaligus memerah susu. Sebagian yang lain berkumpul di halaman masjid, menunggu. Tak lama kemudian muncul delapan mobil bak dari sudut perkampungan. Santri yang sudah menunggu itu langsung loncat naik ke mobil, menuju ke perkebunan di sekitar pesantren.

Begitulah kegiatan pagi di Pesantren Al-Ittifaq yang berlokasi di Ciburial, Rancabali, di kaki Gunung Patuha, Bandung Selatan. Pesantren itu memang berbeda dengan kebanyakan pesantren yang ada di negeri ini. Selain kegiatan belajar ilmu umum dan kajian masalah keagamaan, santri juga diajarkan pemberdayaan ekonomi lewat praktik kewirausahaan.

Kewirasausahaan atau entrepreneurship itu memang menjadi jantung aktivitas Pesantren Al Ittifaq yang didirikan KH Fuad Affandi. Pesantren ini didesain sebagai pesantren yang mampu menghidupi sendiri, pesantren yang tidak mengandalkan hidup dari sumbangan. Sebuah pesantren yang mendidik santrinya hidup mandiri.

Tapi, yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa pesantren ini juga mengubah mental masyarakat desa yang malas karena keterkungkungan, menjadi masyarakat yang berkerja keras. Pesantren ini telah menyulap perkampungan Ciburial yang miskin, ketinggalan di bidang pertanian, transportasi, dan pendidikan, menjadi kampung yang maju, bahkan telah mampu menarik wisatawan.

Perjalanan hidupnya yang penuh liku --mulai dari masa remaja yang 'bengal' yang nyantri di beberapa pesantren di Jawa tengah dan Jawa Timur, sampai bagaimana dia ditipu ketika berdagang sepatu-- dipotret secara secara detail oleh Faiz Manshur dalam buku yang ditulisnya. Judul bukunya pun menggelitik Entrepreneur Organik, Rahasia Sukses KH Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat Sayuriah-nya.

Menjadi pertanyaan memang, apa itu 'entrepreneur organik' dan apa itu 'tarekat sayuriah'? Selama ini yang dikenal sebagai derivasi entrepreneur adalah social entrepreneur, sementara entrepreneur organik dicari di google pun tidak ada kecuali dari tulisan yang diposting penulis sendiri. Apa bedanya? ''Kalau entreprenuer sosial berkutat pada problem sosial kemanusiaan, entrepreneur organik juga terlibat dalam bidang pendidikan, budaya, agama, dan sebagainya,'' tulis buku itu.

Akan halnya dengan Tarekat Sayuriah. ''Saya penganut Tarekat Sayuriah, ha..ha..ha.'' Begitu kata KH Fuad ketika ditanya aliran tarekat. Al Ittifaq memang sukses dengan budidaya dan bisnis sayuran, tak kurang 28 sayur dibudidayakan masyarakat di sekitar Al Ittifaq. Jadi, sah-sah saja gojegan dari kiai yang juga pengusaha dan intelektual itu.

Secara keseluruhan buku ini menarik untuk dibaca. Terlebih karena fokus tulisannya tentang sosok kiai --yang bukan saja paham masalah agama, tetapi juga seorang wirausahawan. Tak banyak kiai yang 'dobel gardan' seperti itu. Tak banyak kiai yang memberi teladan dalam mengejar kepentingan akherat sekaligus memikirkan kepentingan duniawi.

Secara tidak langsung KH Fuad mengajarkan bahwa seorang Muslim harus hidup berkecukupan, untuk itu berbisnislah. Bukankah Nabi Muhammad pun menganjurkan umatnya untuk berbisnis, seperti disabdakan: Dari 10 jalan untuk menjemput rezeki, sembilan di antaranya dari berdagang atau berbisnis.

Titik lemah dalam buku ini adalah ketika mengulas mentalitas orang Sunda. Tidak masalah mengupas masalah etnis, yang jadi problem ketika narasumber hanya KH Fuad, sehingga bisa jadi pandangannya tidak merepresentasikan secara keseluruhan orang Sunda. Pada bab ini miskin referensi, sehingga bisa memunculkan kontroversi.

Kelemahan teknis juga ditemui di buku ini. Misalnya penempatan foto yang tidak sesuai dengan tema, ini bisa kita lihat di hal 128 di mana di situ sedang mambahas perjalanan hidup KH Fuad, tapi fotonya kegiatan santri. Foto-foto profil KH Fuad Affandi juga terlalu monoton. Juga penggunaan kata yang kurang enak didengar, misalnya meng-kamu-kan pembaca, atau kata minggat.

Lepas dari kelemahan tersebut, buku ini tampaknya bisa menginsirasi pembacanya untuk melakukan pemberdayaan. Untuk melepaskan kemiskinan yang membelit bangsa ini, dibutuhkan pribadi-pribadi yang mampu menggerakkan dan memberdayakan masyarakat. Kita perlu meneladani tokoh-tokoh non-selebriti seperti KH Fuad Affandi yang tulus mengabdi kepada masyarakat, bukan mengabdi kepada kepopuleran. nif


Ikut Berbagai Pelatihan

Bermula dari keprihatinannya melihat berhektare tanah yang terbengkalai, ditambah dengan kehidupan masyarakat desa yang sangat miskin, Kiai Fuad tergerak membangun pesantrennya di luar pakem. Dengan segepok pengalaman sebagai orang jalanan, dia pun mengasah kemampuan wirausahanya untuk mengoptimalkan tanah yang terbengkelai itu.

Ruh entrepreneur dari pesantren yang kini telah merasuk di semua santri dan penduduk sekitar, jelas merupakan sublimasi dari jiwa kewirausahaan yang dimiliki Kiai Fuad. Jiwa kreatif, inovatif, tak kenal putus asa -- yang menjadi persyaratan seorang entrepreneur-- telah dimiliki 'kai mbeling' ini. Semangat untuk terus belajar dan bekerja sama dengan siapa pun menjadi prasyarat yang sudah dia lakukan.

Ketika awal mau terjun ke agrobisnis, misalnya, ia ikut di hampir semua kegiatan pelatihan tentang pertanian. ''Saya belajar dari mana saja. Yang penting dapat ilmu, apalagi gratis, biaya yang kita keluarkan hanya menurut,'' kata dia.

Tak heran kalau pegawai di kantor Balai Besar Pelatihan Pertanian di Lembang akrab betul dengan KH Fuad. Bukan karena ceramah di situ, tapi karena sering mengikuti pelatihan agrobisnis.

Pesantren ini juga bekerja sama dengan yang biasa dianggap 'pihak lain', yakni Hero Supermarket (sekarang sudah diakuisisi dan menjadi Giant). Dari manajemen perusahaan retail ini juga KH Fuad belajar cara menanam sayuran yang berkualitas tinggi, mengemas barang menjadi menarik, dan lain-lain, sehingga hasil panenannya memenuhi standar supermarket. Sayur-sayuran dari pesantren Kiai Fuad pun mengisi supermarket itu. nif

Judul : Entrepreneur Organik, Rahasia Sukses KH Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat Sayuriah
Penulis : Faiz Manshur. Penerbit: Nuansa Cendekia Bandung. 392 hlm. Harga Rp 88.000
(-)
Index Koran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entrepreneur Organik

Foto saya
Buku Entrepreneur Organik adalah sebuah kisah nyata perjalanan hidup seorang Ulama dari kaki Gunung Patuha dalam memperjuangkan kesejahteraan kaum tani meraih melalui agribisnis. Ia seorang entrepreneur, tetapi bukan entrepreneur murni yang mengejar kekayaan pribadi, juga bukan seorang entrepreneur sosial yang semata mendermakan sebagian kekayaannya untuk orang lain. Ia adalah Entrepreneur Organik; seorang pelaku usaha yang mampu memimpin rakyat melalui perjuangan bersama dalam tiga hal sekaligus, yakni pemberdayaan, pendidikan dan ekonomi. Lebih 30 tahun berjuang, kini Fuad menjadi salahsatu manusia unik di Indonesia. Siapapun patut belajar darinya.