12.8.09

Ekstremisme dan Bom Bunuh Diri


Kiwa Menengen-Tengen Mengiwa


Kenapa ada kecenderungan ektremisme di Indonesia ini?
“Saya kira sudah banyak analisa yang bisa menjawab hal itu. Bisa karena masalah ekonomi, ideologi, politik, keadaan, atau bisa jadi hanya sebab salah pergaulan. Kita tidak bisa menggeneralisasi,” ujar ujarnya.
Fuad melanjutkan, “tetapi menurut saya dalam hal pemikiran kita bisa melihat secara simbolis dari pembacaan kitab.”
Sambil membuka sebuah buku Fuad menjelaskan analisanya. “Begini, kalau kita kaum santri, santri yang bener-bener belajar agama lho…, saat belajar kitab membukanya dimulai dari tengen-mengiwa (dari kanan ke kiri), sedangkan orang-orang ekstremis itu terbalik, mereka membukanya dari ngiwa-menengen (dari kiri ke kanan).”
Apa maksudnya?


Fuad menjelaskan, dalam kitab-kitab kuning yang banyak dipelajari kaum santri itu (kitabnya bukan seperti buku), bagian awalnya tidak dibuka dari kiri ke kanan, melainkan dari kanan ke kiri. Membuka pelajaran agama dari kanan artinya lebih mengutamakan bagian ibadah, kemudian mu'amalah dan seterusnya, sampai akhirnya bagian jihad. Artinya para santri ini lebih memperhatikan soal ibadah untuk kemudian memikirkan aturan hubungan sosial. Para santri lebih cenderung belajar untuk memperbaiki kehidupan dengan lebih mengutamakan perbaikan kualitas pribadi. Para santri sadar sebelum dirinya lebih baik, dan tanpa kepribadian yang baik kehidupan umat manusia sulit berubah ke arah yang lebih baik. “Pendek kata kita ini banyak belajar untuk tujuan akhlaqul karimah (akhlak mulia), bukan jihad."
Hal ini berbeda dengan kaum ekstremis yang lebih suka belajar untuk mengubah dunia, mengubah masyarakat dan kurang memperhatikan perbaikan pribadi. Mereka yang membaca kitab dari kiri ke kanan artinya lebih fokus belajar bagian-bagian jihad dan urusan publik, alias lebih berambisi memperbaiki urusan orang lain terlebih dahulu ketimbang pribadinya terlebih dahulu. “Karena itu saya tidak yakin pelaku jihadis yang gemar kekerasan itu paham agama secara baik. Jangan-jangan belajar shalat pun belum tuntas, hehe…..”ujarnya meledek.
Apa yang dikatakan Fuad ini sesungguhnya memiliki alasan sosiologis-politis. Alasannya pertama adalah, misalnya, seorang pelaku bom bunuh diri berumur antara 17-19 tahun artinya mereka baru tamat sekolah SMA. Rentang usia seperti ini rata-rata belum tergolong orang yang pinter beragama. "Masih tanggung," katanya. Biasanya di kalangan santri sendiri bisa memiliki ilmu yang cukup baik setelah umur 23-25 tahun.
Alasan kedua, kalau pun umur para ekstremis itu lebih tua, biasanya masa hidupnya habis untuk urusan organisasi dan latihan perang. Dengan kata lain tidak belajar Islam secara tenang dan khusuk, artinya tidak sungguh-sungguh, alias tidak belajar dengan metode jihad yang sesungguhnya. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk urusan rapat dan teknis-teknis perang, termasuk sibuk merakit bom. Ketiga, biasanya kalangan ekstremis ini kurang memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik sehingga pola pikirnya mudah didoktrin.
Dengan ketiga alasan,-termasuk alasan sosiologis, kultural, politik dan latar belakang keluarga bermasalah (broken home) itu Fuad melihat ada satu gejala bahwa sesungguhnya penyerapan Islam di Indonesia ini masih timpang. “Masih banyak orang Islam yang tidak memiliki kemandirian berpikir, alias textbook, alias tukang adopsi dan karena itu kemudian menghasilkan Islam yang tidak ramah lingkungan," ujarnya.
Menurut Fuad, Islam menjadi berwajah garang seperti itu jelas menyalahi kodrat dari tujuan Islam yang asli, yakni rahmatan lil alamin. "Kalau di Afganistan, -dalam kondisi perang,- jelas angkat senjata, lempar bom adalah sesuatu yang wajar. Tentu tidak masuk akal kalau dalam situasi perang kita malah sibuk mengaji. Tetapi Indonesia berbeda dengan Afganistan. Mestinya dari satu sisi saja kita berpikir bukan…?," ujarnya lugas.
Paradigma pembacaan dengan jalur ngiwa-menengen adalah simbol kesalahan fatal kaum ekstremis dalam membaca Islam. Menurut Fuad, membaca (iqra’) itu sendiri adalah paradigma Islam yang paling mendasar bahkan sebelum seseorang menjalankan laku ibadah dan mu’amalah. Dengan meletakkan dasar pembacaan itu sesungguhnya Islam mengarahkan umatnya untuk berhati-hati dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah.
Fuad menjabarkan, “kitab kuning disusun secara runut sesungguhnya memiliki maksud tertentu, atau dengan kata lain, memuat susunan dari urusan yang mudah, sampai ke urusan yang paling sulit. Tentu dengan ini kita harus telaten dan sabar belajar sejak hulu ke hilir. Nah, saya lihat kaum ekstremis itu tidak mau sabar. Biasanya kelakuan orang yang tidak sabar ini pasti akan menghasilkan sesuatu yang buruk. Seperti para petani yang tidak memperhatikan proses produksi dan distribusi dari hulu ke hilir pasti akan gagal memanen uang,” komentarnya beranalog.
Di mata Fuad, jalan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan,–kalaupun boleh dilakukan,- mestinya memakai landasan, undang-undang, peraturan dan tentu saja hanya boleh dilakukan mereka yang mendapat mandat, bukan oleh sembarang orang. Dengan kata lain, kekerasan seperti menghukum adalah wewenang aparatus pemerintah yang sah. Dan itupun bisa dilakukan dalam koridor keadilan dan kebijaksanaan. “Kalau saya mengatasi kriminal, atau orang-orang bermasalah cukup dengan pendekatan kekeluargaan. Dan terbukti bisa diwujudkan tanpa harus merusak,” tuturnya berbagi pengalaman.
Fuad juga merasa heran kenapa orang mudah diiming-imingi surga. Menurutnya, hal ini sangat berbeda dengan ajaran-ajaran yang diterimanya dari para kiai di pesantren. “Kok semudah itu mereka yakin akan mendapat surga ya…? Dulu kita ini sering dinasehati, sekalipun kita berilmu dan beramal saleh belum tentu mendapat surga. Sudah mampu masuk surga pun belum tentu kita bisa melihat Tuhan," tanyanya tak habis pikir.
Menurut Fuad, keyakinan mendapat surga memang sesuatu yang baik karena Tuhan sendiri memang punya janji akan hal itu. Tetapi manakala orang Islam meyakini bahwa dengan apa yang dilakukannya, (sebagaimana kebenaran Tuhan) adalah sesuatu yang berlebihan. "Seolah-olah mereka itu paling paham kersane Gusti Allah," ucapnya.
Fuad melihat, kemungkinan para pelaku bom bunuh diri adalah orang yang susah hidupnya. Mereka memiliki latar belakang masalah hidup yang pelik dan sulit mewujudkan hidup yang indah sehingga hanya dengan cara bunuh diri itulah harapan meraih keindahan hidup diyakini bisa terwujud. "Mungkin karena tidak mendapat bidadari di dunia, lantas berpikir pragmatis bunuh diri dengan harapan segera mendapat bidadari di surga,” ujarnya dengan penuh keprihatinan.
(Dikutip dari buku Entrepreneur Organik, Faiz Manshur:
penerbit Nuansa Cendekia Bandung)

3 komentar:

yudiono mengatakan...

Pak kiai tradisional yang hebat....salut...demi kedamaian....

hj nenden mengatakan...

we luv.....kyai..

Unknown mengatakan...

jempol....

Posting Komentar

Entrepreneur Organik

Foto saya
Buku Entrepreneur Organik adalah sebuah kisah nyata perjalanan hidup seorang Ulama dari kaki Gunung Patuha dalam memperjuangkan kesejahteraan kaum tani meraih melalui agribisnis. Ia seorang entrepreneur, tetapi bukan entrepreneur murni yang mengejar kekayaan pribadi, juga bukan seorang entrepreneur sosial yang semata mendermakan sebagian kekayaannya untuk orang lain. Ia adalah Entrepreneur Organik; seorang pelaku usaha yang mampu memimpin rakyat melalui perjuangan bersama dalam tiga hal sekaligus, yakni pemberdayaan, pendidikan dan ekonomi. Lebih 30 tahun berjuang, kini Fuad menjadi salahsatu manusia unik di Indonesia. Siapapun patut belajar darinya.