9.7.09

Transformasi Petani Berbasis Komunitarianisme

Adalah benar bahwa Politik (struktural) adalah cara yang paling strategis untuk membangun kemajuan di banyak sektor, terutama sektor pertanian. Namun sestrategis apapun jika hanya berhenti pada tataran retoris tak akan menjelma perubahan. Ada kalanya kita perlu menempuh cata lain, semisal dengan model pergerakan non struktural pada basis sosial-ekonomi melalui gerakan komunitarianisme.
Dari Dusun Ciburial, Kelurahan Alam Endah, Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung, mari kita mengenal
apa itu yang disebut petani sejati, yakni petani yang hidupnya berdaya, sejahtera tanpa harus mengandalkan peran negara secara keseluruhan.

Di era 1980an, -sebelum kegiatan agribisnis berjalan,- masyarakat petani di kawasan itu dikenal miskin dan terbelakang berbalut dengan kebodohan dan kekolotan. Setelah 15 tahun lebih sistem agribisnis pertanian berlangsung kenyataan telah berubah menakjubkan. Benar bahwa kemiskinan masih ada, tetapi fakta yang sekarang terjadi mayoritas petani di sana lebih sejahtera.
Orang-orang di desa itu menceritakan kepada penulis, pada tahun 1980 sebenarnya para petani memiliki tanah yang cukup luas. Sebagian besar para petani memiliki tanah mendekati 0,5 hektar, golongan menengah memiliki tanah seluas 0,5 hektar, sebagian lagi mencapai 1 hektar. Namun dari semua golongan pemilik tanah ini tetap saja sulit menikmati hasil panen secara kontinyu. Pasalnya, harga produk pertanian di pasaran seringkali menindas panen mereka.

Komunitarianisme
Pelajaran berharga penulis melakukan riset lapangan ke Pondok-pesantren Al-Ittifaq dan kampung sekitarnya ternyata membuahkan sebuah hasil yang unik, yakni sebuah transformasi ekonomi dan sosial dari komunalisme ke arah bentuk masyarakat komunitarianisme. Komunitarianisme mula-mula harus dibedakan dengan komunalisme. Ia adalah sejenis organisme sosial yang berkembang dari pilar individu yang menyatu dalam sebuah gagasan untuk meraih tujuan ideal berupa kemaslahatan bersama.
Pada konteks hubungan sosial kemasyarakatan keduanya memang memiliki persamaan berupa kesepakatan bersama tentang nilai dan norma yang dipandang sebagai etika bersama. Adapun titik perbedaannya terletak pada gagasan ideal untuk mencapai target sesuatu. Bisa dikatakan, komunalisme adalah sejenis kegiatan bersama tanpa mengedepankan visi (pandangan hidup masa depan). Individu-individu di era komunalisme yang berada di dalamnya (baca: masyarakat pedalaman yang terbelakang secara ekonomi maupun pendidikan) sulit menerima pembaruan (modernisasi). Sedangkan komunitarianisme sarat dengan keterbukaan.
Peranan sosok KH Fuad Afandi yang menyatukan potensi pesantren dengan masyarakat petani melalui slogan “kerjasama” (Al-Ittifaq) mampu mengubah masyarakat komunalisme yang jumud ke arah masyarakat komunitarianisme yang dinamis dan kemudian menorehkan modal sosial bagi kaum tani.
Modal sosial yang terjadi di kawasan Alam Endah tersebut mirip seperti yang dikatakan Robert Putman, “menjadikan masyarakat memiliki nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan untuk melakukan sesuatu bagi sesama. Sebagai ide abstrak, modal sosial tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi yang secara praksis berupa paguyuban untuk kegiatan sosial, koperasi untuk kegiatan ekonomi/bisnis, lembaga swadaya untuk penguatan SDM dan institusi pendidikan.

Dampak sosial
Pesantren Al-Ittiffaq yang nota-bene adalah representasi lembaga pendidikan golongan masyarakat bawah yang memiliki ciri-ciri komunalisme ala masyarakat pedalaman di Pasundan kini telah mewujud dalam bingkai komunitarianisme. Hal yang unik, bahwa gerakan itu justru muncul dari ruang komunalisme pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang selama ini dikenal gemar memisahkan diri dari tradisi masyarakat setempat. Al-Ittifaq dengan caranya sendiri telah mampu menjadi basis penguatan masyarakat sipil melalui Koperasi Pondok Pesantren yang digunakan sebagai kegiatan simpan pinjam serta pemasaran produk-produk pertanian.
Kolektivitas yang kompak tersebut kini membuahkan hasil luar biasa dalam bidang pendidikan, yakni sekolah Taman Kanak-Kanak, Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Aliyah. Di pesantren salafiahnya, lebih dari 350 santri anak-anak petani lulusan SD/SMP bisa belajar ilmu agama di Pesantren Al-Ittifaq sekaligus beragribisnis tanpa biaya dan sekitar 400 siswa bisa sekolah di madrasah Al-Alif sambil bekerja paruh waktu. Selama lima tahun sudah mampu memberikan insentif modal hidup kepada 62 kepala keluarga dalam bentuk aset rumah sederhana dan beberapa petak tanah sebagai aset pribadi. Program-program tahunan lain yang tak bisa dilupakan ialah sunnatan massal, pernikahan massal serta mobilisasi kegiatan sosial untuk pembangunan sarana pedesaan lainnya.
Apa yang terjadi di Alam Endah dengan mesin organisasi koperasi dan kelompok tani yang menginduk ke Pondok Pesantren Al-Ittifaq memberi bukti bahwa ada jalan lain di luar neoliberalisme dan sosialisme, yakni komunitarianisme, sebuah “ideologi” yang memang tidak relevan jika ditarik dalam konteks negara dan bangsa tetapi sangat strategis diterapkan untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa.
Melalui pola gerakan komunitarianisme dengan model kepemimpinan kewirausahaan memperhatikan nasib kaum bawah, kaum tani yang sekalipun hanya memiliki beberapa petak tanah pada akhirnya bisa ikut menikmati kemajuan. Hal ini tak lepas dari format gerakan yang dibangun dengan model kerjasama (gotong-royong), atau dalam bahasa Arabnya Al-Ittifaq. Kita bisa menyaksikan langsung di sana.
FAIZ MANSHUR( Penulis sedang melakukan studi gerakan
petani mandiri Al-Ittifaq Rancabali Bandung).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

jalan lain untuk meraih sukses. sangat menarik dikembangkan sebagai studi untuk daerah lain.

salam
zaenal arifin

Agus M Ramdan mengatakan...

Mungkin harus lebih di perjelas masalah komunalisme. Dalam pemikiran orang komunalisme itu lebih dekat kepada sosialisme dan sosialisme lebih dekat kepada komunisme.

Padahal secara umum bahwa komunalsime seringkali lebih memperkuat struktur ekonomi banyak. Model yang di kembangan oleh Orde baru adalah Koperasi atau kelompok tani.

Sayanganya BANK kurang begitu konsen dengan Koperasi atau kelompok tani karna bermasalah dengan kolateral (agunan). Berbeda dengan perusahaan besar mereka, mempnyai agunan tanah (dalam bentuk sertivikat HGU). Maklumlah megurusi 1000 kredit dengan jumlah @10juta lebih ribet daripada mengurus 1 kredit 10milyar.

Konsep komunalisme khusnya untuk masalah lahan pertanian pernah di gagas oleh kementian peratanian dengan konsep konsolidasi lahan. Tapi sayang sampe saat ini konsep tersebut Belum terlihat gaungnya.

Tanah Adat

Sebenanya teknik ini bisa diguanakan pada tanah bengkok atau tanah adat. Dengan kata lain tanah bukan di bagi-bagi ke petani penggarap tapi penguasa tanah (red: kepala adat/kepala desa) membuat sebuah perusahaan yang meperkerjakan petani desa tersebut. Tentunya yang di dapatkan petani selain dari gaji juga keuntungan dari hasil usaha pertanian. Sehingga petani pengarap mempunyai perasaan "memiliki" perushaan bukan memiliki tanah.

Posting Komentar

Entrepreneur Organik

Foto saya
Buku Entrepreneur Organik adalah sebuah kisah nyata perjalanan hidup seorang Ulama dari kaki Gunung Patuha dalam memperjuangkan kesejahteraan kaum tani meraih melalui agribisnis. Ia seorang entrepreneur, tetapi bukan entrepreneur murni yang mengejar kekayaan pribadi, juga bukan seorang entrepreneur sosial yang semata mendermakan sebagian kekayaannya untuk orang lain. Ia adalah Entrepreneur Organik; seorang pelaku usaha yang mampu memimpin rakyat melalui perjuangan bersama dalam tiga hal sekaligus, yakni pemberdayaan, pendidikan dan ekonomi. Lebih 30 tahun berjuang, kini Fuad menjadi salahsatu manusia unik di Indonesia. Siapapun patut belajar darinya.